- October 23, 2025
- nahdlatul_quran
- 0 Comments
- Dawuh Guru, Kegiatan Santri, Mengaji, Santri Kudus, Santri Mengaji, Santri Qur'ani
TRADISI PESANTREN, KIAI DAN SANTRI
Dewasa ini, muncul nada skeptis membahas fungsi dan sumbangsih pesantren bagi Tanah Air. Banyak pertanyaan yang selalu muncul bersamaan dengan pembahasan pesantren, yakni seputar fungsi, relevansi, dan jaminan masa depan alumnus pesantren.
Padahal jika mundur sejenak dan menengok akar tradisi pesantren, sejak zaman dahulu pesantren merupakan salah satu pilar penting dalam dunia pendidikan dan kebudayaan Indonesia. Dari rahim pesantren banyak melahirkan tokoh-tokoh yang turut menjadi deklarator dan motor kemajuan bangsa. Bertanggung jawab secara vertikal, horizontal, maupun dengan alam lingkungan. (Nashori, 2011) Maksudnya, dalam tradisi pesantren, selain mengaji dan mengkaji ilmu agama, para santri cenderung mengadopsi, mengamalkan serta bertanggung jawab atas apa yang telah dipelajari. Seperti mengajarkan nilai-nilai kesederhanaan (simplicity), kemandirian (independence), semangat kerja sama (teamwork), solidaritas (solidarity), dan keikhlasan (sincerity), dan kepatuhan (tha’at) kepada Allah SWT, Rasul, Ulama’ atau Kyai.
Sebagaimana diketahui dalam dunia pesantren, santri hidup dalam suasana kolektivistik. (Diponegoro, 2005) Apabila mereka memiliki sesuatu (dalam hal ini makanan atau lain hal) mereka mudah membaginya kepada yang lain. Apabila berada dalam kesulitan, sangat mudah memberikan pertolongan. Hal ini sejalan dengan pandangan Diponegoro yang mengungkapkan bahwa salah satu ajaran Islam yang banyak diadopsi pondok pesantren adalah persaudaraan (ukhuwah), persatuan (ittihad), tolong menolong (ta’awun). Ditegaskan dalam Q.S. al-Mā’idah/ 5: 2
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُحِلُّوْا شَعَاۤىِٕرَ اللّٰهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَاۤىِٕدَ وَلَآ اٰۤمِّيْنَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرِضْوَانًاۗ وَاِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوْاۗ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ اَنْ صَدُّوْكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اَنْ تَعْتَدُوْۘا وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ ٢
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah SWT, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
Dalam riwayat Shahih Bukhari dan Muslim juga disebutkan, Nabi Muhammad SAW mengibaratkan persaudaraan sesama muslim seperti satu tubuh. Apabila salah satu bagian tubuh sakit, maka bagian yang lain merasakan sakit juga.
Pesantren
Kata “Pesantren” berasal dari kata “santri” dengan awalan pe dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Pengertian lain mengatakan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan untuk mempelajari agama Islam.
Pondok pesantren muncul pertama kali di Indonesia abad ke-16 M, terdapat di Ampel Denta dalam asuhan Sunan Ampel. Pada waktu itu, beliau mengkader santri-santrinya untuk menyebarkan ajaran Islam ke seluruh pelosok Tanah Air, bahkan ada yang ditugaskan hingga ke negara-negara tetangga. Dari murid-murid Sunan Ampel inilah, kemudian menjamur pesantren-pesantren di seluruh penjuru Tanah Air. Puncaknya terdapat pada awal pertengahan abad ke-19 serta awal abad ke-20, yaitu pada masa Syekh Kholil Bangkalan. Dari beliaulah muncul kiai-kiai besar Nusantara yang kemudian dapat mencetuskan kiai-kiai besar lainnya.
Ungkapan pertama ketika mendengar istilah “pesantren” akan terbawa dalam nuansa kehidupan dinamis, religius, ilmiah. Pondok pesantren sebagai lembaga tertua di Indonesia yang menerapkan nilai edukasi berbasis pengajaran tradisional. Istilah bandongan, sorogan, materi pengajaran dari kitab-kitab kuning (turāts), kitab berbahasa Arab karya ulama klasik hingga kontemporer baik luar maupun dalam negeri masih menjadi corak khas kehidupan pesantren. Dalam pesantren, ada pembelajaran sekolah (diniah) dan ada sistem pembelajaran musyawarah (sawir/ takrār).
Sistem tradisional pengajaran pesantren dengan pola interaksi kiai-santri dengan menganut manhaj Ta’lim al-Muta’allim, pengajian intensif sistem sorogan dan model ngaji berkah ala bandongan seperti di atas adalah justru yang terbukti telah berhasil melahirkan alumnus pesantren yang handal dan berpengaruh dalam tatanan sosial peradaban. Jika pesantren mampu mempertahankan ruh pendidikan beserta ruh tradisi yang positif dan lantas mengembangkan sisi yang belum optimal, Pesantren akan mampu untuk terus memberikan sumbangsih positif bagi kehidupan bangsa Indonesia.
Kiai dan Santri
Pola interaksi antara kyai dan santri sangat kental seperti yang diajarkan dalam Kitab Ta’lim al-Muta’allim. Bagaimana hormat dan cinta santri kepada guru terlihat dari bagaimana mereka berkomunikasi sehari-hari.
Sikap tolong-menolong juga dicontohkan oleh kiai sebagaimana ketika ada masyarakat yang meminta pertolongan. Membaca tahlil bagi orang yang sudah meninggal.
Sikap tawadhu’ (dalam Bahasa Jawa dikenal andap asor) setiap bertemu selalu menunduk dan mencium tangan kiai. Hal tersebut sebagai bentuk rasa hormat dan takzim kepada kiai dan ustadznya yang telah memberikan cahaya keilmuan dan pengetahuan hidup kepada para santri, bukan manivestasi dari penyerahan total kepada orang-orang yang dianggap memiliki otoritas, tetapi karena suatu keyakinan atas kedudukan guru sebagai penyalur kemurahan (barokah) Allah SWT yang dilimpahkan kepada murid-muridnya, baik ketika hidup di dunia maupun di akhirat.
Konsep al-ulama’u warasatul anbiya’ rupanya tidak hanya sebatas ulama yang hidup pada masa Nabi Muhammad SAW ataupun sesudahnya, tetapi juga para ulama mutaqoddimin, yang hidup pada zaman para Nabi SAW sebelumnya.
Dalam konteks pesantren adalah konsep ini memposisikan kiai dan ustadz sebagai penjaga dan penyebar ajaran Islam, yang mengabdikan diri untuk mendidik, membersihkan hati umat, dan menyampaikan kebenaran berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah, sesuai dengan peran para nabi. Sementara itu, santri, sebagai murid kiai, memiliki kewajiban untuk menuntut ilmu dan mengikuti petunjuk guru mereka demi menjadi pewaris ilmu yang juga memiliki akhlak mulia. Wallahu a’lam biṣṣawab.
Oleh : Ellviaaf
Leave a Comment