Zaid bin Tsabit – Juru Tulis dan Penghafal Andal

Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu adalah salah satu sahabat muda yang istimewa. Di usianya yang baru belasan tahun, ia sudah dikenal cerdas, tekun, dan memiliki daya hafal luar biasa. Rasulullah ﷺ mempercayainya sebagai penulis wahyu—tugas yang sangat mulia. Setiap kali wahyu turun, Nabi ﷺ memanggil Zaid untuk mencatatnya di pelepah kurma, tulang, atau kulit, lalu langsung menghafalkannya. Ia juga diperintahkan mempelajari bahasa Ibrani untuk membantu korespondensi dakwah.

Amanah ini sejalan dengan firman Allah ﷻ:

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”
(QS. Al-Hijr: 9)

Setelah wafatnya Nabi ﷺ, umat Islam mengalami masa sulit. Dalam Perang Yamamah, banyak penghafal Qur’an gugur syahid. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu khawatir ayat-ayat Al-Qur’an hilang dari ingatan manusia, lalu mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu untuk mengumpulkan mushaf.

Tugas besar ini diserahkan kepada Zaid bin Tsabit. Ia mengaku, “Demi Allah, jika aku diperintahkan untuk memindahkan sebuah gunung, itu lebih ringan daripada mengumpulkan Al-Qur’an.” Meski demikian, ia menerimanya dengan penuh amanah. Zaid mengumpulkan ayat-ayat dari para penghafal dan tulisan-tulisan yang tersebar, memverifikasi setiap ayat dengan dua saksi yang hafal dan menulisnya di hadapan Nabi ﷺ.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.”
(HR. Bukhari)

Berkat usaha Zaid dan para sahabat, Al-Qur’an terkumpul dalam satu mushaf yang terjaga kemurniannya hingga kini. Jutaan Muslim di seluruh dunia membacanya persis seperti yang dibaca Rasulullah ﷺ lebih dari 14 abad lalu.

Dari kisah ini, kita belajar bahwa menjaga Al-Qur’an bukan sekadar hafalan, tapi juga tanggung jawab besar untuk memastikan kemurniannya. Jasa Zaid bin Tsabit akan terus mengalir sebagai pahala jariyah selama Al-Qur’an dibaca dan diamalkan oleh umat Islam.

Oleh : Abdur