- August 8, 2025
- nahdlatul_quran
- 0 Comments
- Dawuh Guru, Kegiatan Santri, Mengaji, Santri Kudus, Santri Mengaji, Santri Qur'ani
MEMBONGKAR KISAH FIKTIF NABI MUSA
Kisah Nabi Musa ‘alaihissalam — atau yang dalam tradisi Yahudi disebut Moses/ Moshe — adalah salah satu kisah yang paling sering disebutkan dalam al-Qur’an. Tidak hanya memuat perjuangan dakwah, mukjizat yang luar biasa, pengkhianatan kaumnya, dan kesabaran tanpa batas, tetapi juga menyimpan sejumlah narasi populer yang perlu ditinjau ulang secara kritis.
Ada satu kisah yang tersebar luas di kalangan guru-guru madrasah atau pelajaran sejarah Islam adalah kisah Nabi Musa yang “cadel”. Diceritakan bahwa ketika Musa masih bayi dan tinggal di istana Fir’aun, ia pernah menarik jenggot Fir’aun hingga membuat penguasa Mesir itu murka. Fir’aun curiga bahwa Musa kecil adalah bayi yang kelak akan menghancurkan kekuasaannya, sebagaimana diramalkan. Maka, atas saran istrinya (Asiyah), Fir’aun menguji Musa dengan meletakkan di hadapannya dua benda: sepotong roti dan bara api. Jika Musa memilih roti, berarti ia bayi yang cerdas dan berbahaya. Namun jika memilih bara api, berarti ia hanya bayi biasa yang belum mengerti apa-apa. Maka, atas izin Allah Swt, Musa memilih bara api dan memasukkannya ke mulut, menyebabkan lidahnya terbakar dan akhirnya mengalami cacat bicara permanen. Kisah ini lalu digunakan sebagai penjelasan mengapa ketika dewasa, Nabi Musa memohon kepada Allah Swt agar saudaranya, Harun ‘alaihissalam, dijadikan pendamping dan juru bicaranya (QS. Ṭāhā/ 20: 27-29).
Penulis sendiri pada awalnya menerima cerita ini begitu saja, karena sejak kecil telah dijejali narasi-narasi yang mengarah pada anggapan bahwa Nabi Musa adalah “nabi cadel” yang tak bisa berbicara dengan jelas. Anggapan ini semakin diperkuat dengan narasi sisipan yang terdapat pada kitab-kitab tafsir klasik, Seperti At-Thabari memberikan penjelasan dalam kitabnya Jāmi’ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān mengenai QS. Ṭāhā/ 20: 27-29 :
وَقِيلَ: كَانَ فِي لِسَانِهِ لَثْغَةٌ؛ لأَنَّهُ وَضَعَ يَدَهُ فِي النَّارِ وَوَضَعَهَا فِي فِيهِ وَهُوَ صَغِيرٌ، فَاحْتَرَقَ لِسَانُهُ، فَذَهَبَتْ بَيَانُهُ.
Namun seiring waktu dan pendalaman, penulis mulai merasakan banyak kejanggalan, baik dari segi logika (‘aqliyyah) maupun dari segi dalil syar’i (naqliyyah).
Tidak Masuk Logika
Bayi pada umumnya tidak memiliki kemampuan untuk mengenali bahaya benda panas dan dapat menyentuhnya yang bisa menyebabkan luka bakar. Refleks bayi terhadap benda panas belum berkembang sepenuhnya, dan mereka cenderung mengeksplorasi dengan menyentuh berbagai benda, termasuk benda panas tanpa menyadari risikonya. Maka sangat mustahil apabila seorang bayi tidak merasakan panas ketika bara api berada di tangannya sebelum dimasukkan ke mulutnya.
Sumber Kisah Tidak Sahih
Tidak ditemukan dalil naqli, baik al-Qur’an maupun Hadist Sahih yang menceritakan riwayat tersebut. Bahkan, al-Qur’an sendiri tidak pernah menyebut Nabi Musa ‘alaihissalam, Sang Kalimullah dengan sebutan “gagap” atau “cadel”. Lantas darimana riwayat tersebut berasal?
Kisah “Nabi Cadel” tersebut berasal dari literatur Israiliyyat —yaitu riwayat yang bersumber dari tradisi Yahudi atau Nasrani, yang kemudian disisipkan dalam tafsir dan kisah-kisah nabi oleh sebagian mufassir klasik. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan kisah ini dengan sanad yang tidak kuat dan mengomentari bahwa kisah-kisah seperti ini perlu ditanggapi dengan hati-hati. Ulama lain seperti Imam al-Qurthubi dan al-Alusi juga menyinggung kisah ini tanpa menetapkannya sebagai kebenaran yang dapat diyakini secara pasti.
Syeikh Dr. Muhammad Husein Adzahabi (wafat 1977 M) dalam karyanya al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, beliau telah membagi israiliyat menjadi 3 kategori:
- Kabar yang telah diketahui kebenarannya, bahwa hal itu memang diambil dari Rasulullah Saw secara benar. Hal itu seperti dalam penjelasan nama sahabat Musa As. Yaitu Khidir. Kategori ini dihukumi benar dan dapat diterima.
- Kabar yang diketahui kebohongannya, karena hal itu bertolak belakang dengan syariat kita, dan akal. Kategori ini tidak bisa diterima.
- Kabar yang didiamkan, hal itu tidak seperti kategori pertama maupun yang kedua. Kategori ini didiamkan,maksudnya tidak boleh diyakini dan boleh menceritakannya.
Maka dari ketiga kategori diatas, dapat disimpulkan bahwa riwayat “Musa dan Bara Api” diatas masuk kategori yang kedua, karena kisah tersebut sangat tidak masuk akal jika Bara api yang bisa mencapai suhu 600–1000°C yang jika mengenai kulit saja bisa membakar habis jaringan, apalagi sampai dimasukkan ke mulut bayi yang sangat sensitif . hal semacam ini sangat jelas dapat merendahkan derajat kerasulan Sang Kalimullah.
NABI HARUN AS. SEBAGAI JURU BICARA
Kejanggalan penulis berikutnya, datang dari anggapan yang menyebutkan bahwa Nabi Harun ‘alaihissalam diutus mendampingi Nabi Musa ‘alaihissalam dalam berdakwah sebagai juru bicara, yang berarti Nabi Musa membutuhkan Nabi Harun untuk menerjemahkan bahasa yang tidak ia fahami atau memperjelas ucapannya karena cacat bicara. Namun faktanya, Nabi Musa ‘alaihissalam adalah seorang rasul yang multilingual (menguasai lebih dari satu bahasa). Hal ini ditunjukkan dalam sebuah penilitian tentang Kaum Madyan—kaum tempat Nabi Musa tinggal selama pelariannya— yang menurut sejumlah ahli sejarah kemungkinan besar menggunakan bahasa Arab kuno atau dialek Aramaik/ Nabathiyah, yang dekat dengan rumpun Semitik. Ini masuk akal mengingat letak geografis Madyan yang berada di luar wilayah Mesir, yakni Hijaz–Syam. Al-Qur’an menyebutkan, Nabi Syu’aib —nabi yang diutus kepada Kaum Madyan— berdakwah dengan bahasa kaumnya sendiri (QS. Ibrahim/ 14: 4), dan Nabi Musa As dapat menikah serta tinggal bersama mereka, yang menunjukkan komunikasi yang baik. Ini mendukung bahwa bahasa kaum Madyan masih dalam satu rumpun linguistik yang dimengerti oleh Musa (seorang Ibrani), karena Ibrani, Aramaik, dan Arab semua termasuk rumpun Semitik. Selain menguasai bahasa Ibrani dan Aramaik, Nabi Musa juga menguasai bahasa Mesir Kuno, bahasa yang resmi digunakan di istana Firaun dan masyarakat Mesir pada waktu itu (sekitar 1300–1200 SM), mengingat Nabi Musa As adalah anak angkat kerajaan sebagaimana dikisahkan dalam QS. Al-Qaṣaṣ/ 28: 9.
وَقَالَتِ امْرَاَتُ فِرْعَوْنَ قُرَّتُ عَيْنٍ لِّيْ وَلَكَۗ لَا تَقْتُلُوْهُۖ عَسٰٓى اَنْ يَّنْفَعَنَآ اَوْ نَتَّخِذَه وَلَدًا وَّهُمْ لَا يَشْعُرُوْنَ
Fakta-fakta diatas dapat kita gunakan sebagai bukti bahwa Nabi Musa As tidak membutuhkan penerjemah/ juru bicara dalam dakwahnya, karena ia sudah menguasai bahasa-bahasa yang dibutuhkan dalam berdakwah.
LANTAS APA FUNGSI NABI HARUN DALAM DAKWAH NABI MUSA?
Meskipun Nabi Harun disebut dalam al-Qur’an sebagai sosok yang lebih fasih lidahnya (QS. Al-Qaṣaṣ/ 28: 34), namun fungsi utamanya bukan sebagai juru bicara Nabi Musa As, melainkan sebagai:
- Wazir (pendamping/ penolong misi ke-nabian)
Disebutkan dalam Ṭāhā/ 20: 29–32, Nabi Musa memohon agar Harun dijadikan “waziran min ahli”, yaitu menteri dari keluarganya, untuk memperkuat misinya dalam berdakwah. - Support system
Bukan karena Nabi Musa As tidak mampu berbicara, melainkan karena dakwahnya dalam menghadapi kebengisan Firaun adalah misi besar yang memerlukan sinergi, serta trauma masa lalu yang dialami Nabi Musa As juga menyimpan beban psikologis dan konflik batin yang cukup kuat sehingga dukungan moral merupakan aspek penting yang dibutuhkan Nabi Musa. - Nabi tersendiri yang diutus bersama Nabi Musa As
Al-Furqān/ 25: 35 menyebutkan bahwa Allah SWT mengutus keduanya:
وَلَقَدْ اٰتَيْنَا مُوْسَى الْكِتٰبَ وَجَعَلْنَا مَعَه اَخَاهُ هٰرُوْنَ وَزِيْرًاۚ
“Dan sesungguhnya Kami telah memberikan kepada Musa Kitab dan menjadikan Harun sebagai nabi pendampingnya.”
Ini menunjukkan Nabi Harun bukan hanya asisten Nabi Musa As, melainkan juga seorang nabi yang punya tanggung jawab kenabian sendiri.
Kisah Nabi Musa As adalah kisah agung tentang pembebasan, keberanian, dan wahyu. Maka, merendahkannya dengan kisah tidak sahih seperti ‘makan bara api’ dan ‘cadel’ adalah bentuk penyimpangan narasi kenabian. Sudah saatnya kita memilah mana yang benar-benar berasal dari wahyu, dan mana yang hanya dongeng yang terwariskan secara turun-temurun. Dengan pendekatan yang kritis namun tetap santun terhadap tradisi tafsir klasik, umat Islam bisa kembali memahami kisah-kisah kenabian dalam al-Qur’an secara lebih rasional, kuat, dan menginspirasi. Wallahu A’lam
Oleh : Durkheim Rajja Fadlillah
Leave a Comment